Halaman

Jumat, 04 Juli 2014

Pembalasan pada Bos

Matahari pagi mengintip dari balik jendela. Dia sangat baik, selalu membangunkanku di pagi hari, menyambutku di ufuk timur. Tak pernah sekalipun aku yang membangunkannya. Kulihat jam beker buntutku. Jam enam lebih tiga puluh menit. Benar-benar jam beker buntut. Tadi kusetel jam empat pagi tepat, tapi sekarang baru berdering. Ah, sudahlah. “Mau kemana kau?” Tanya ibu kos ketika aku baru keluar dari kamar. “Ingat, tagihanmu nunggak tiga bulan.” Katanya dengan mata melotot “Mau ambil wudhu, mau sholat bu.” Jawabku polos. “Jam segini baru sholat shubuh? Mestinya kamu gabung saja dengan sholat dhuha.” “Ya, kapan-kapan aku coba.” Jawabku judes. Inilah sarapan pembuka bagiku setiap hari, tagihan kontrakan. Entah kenapa ibu kos killer itu tidak capek mengoceh dengan ocehan yang sama setiap hari. Aku yang mendengarnya saja sudah muak. Setelah kusegarkan diriku, segera kupakai seragam dinasku setiap hari selama 3 tahun terakhir. Atasan putih bersih mengkilap, bagian bawah celana panjang hitam gelap mengkilap pula. Kalian pasti sudah tahu pekerjaanku. Ya, pekerjaanku menjadi seorang sales. Tak lupa kutambahkan minyak rambut di rambutku, biar terlihat lebih rapi, begitu kata bos. Aku menurut saja, daripada harus dipecat. Setelah semua siap, langsung aku menuju ke bagian samping kontrakan. Segera kukeluarkan sepeda motorku yang sudah usang, keluaran tahun 1998. Masalah kekuatan, jangan diragukan lagi, sekali aku mengendarai motorku keluar dari gang kosku, semua tetangga langsung masuk ke dalam rumah, menutup pintu rapat-rapat, walau hanya untuk beberapa detik. Jalanan hari ini agak lenggang. Tidak seperti biasanya yang dipenuhi para pelajar yang sedang menuntut ilmu menuju sekolahnya masing-masing. Kau tahu kenapa? Karena hari ini adalah hari Minggu. Saat dimana para pelajar dan orang-orang pada umumnya mengistirahatkan pikirannya setelah selama enam hari berpikir. Tapi tidak untukku. Hari Minggu, adalah hari dimana aku harus bekerja lebih keras, karena orang-orang pasti sedang istirahat di rumah, dan itu kesempatan bagiku untuk memperkenalkan produk keluaran perusahaan ke mereka. Sesampainya di kantor, segera aku menuju ruang kerja. Meskipun aku sendiri sangsi, tidak pantas itu disebut ruang kerja. Tempat yang berantakan dan berdebu. Fokusku hanya pada “jajanan” yang hari ini harus aku tawarkan. Disana sudah ada rekanku, Roni. “Tumben kamu telat Di.” Katanya membuka pembicaraan “Hahaha, memangnya aku tidak pernah telat?” jawabku sambil tertawa kepadanya. “Kamu kan selalu datang pagi buta kalau kerja, sampai harus menunggu di depan gerbang, soalnya Pak Nur belum datang.” Balasnya. “Lebih baik kamu jadi satpam saja, nggantikan Pak Nur, hahaha.” “Nanti kalau aku jadi satpam, siapa yang nemenin kamu jalan-jalan sambil menenteng tas besar seperti biasa? Memang ada yang mau jalan bareng sama orang gendut kayak kamu? Cowok saja ogah, apalagi cewek, hahaha.” Balasku sambil menyikutnya Kali ini aku berhasil membalasnya, biasanya, aku langsung diam tak berucap tiap kali dihabisi dengan peluru kata-kata darinya. Aku lebih suka dihabisi oleh teman sendiri daripada mendengar kuliah shubuh dari ibu kos dengan judul “Jangan Lupa Bayar Uang Kos” . Kami memang akrab sejak pertama kali kerja disini. Kami juga bisa dibilang pasangan paling sukses dalam menjajakan produk. Bagaimana tidak, dengan penjelasan yang mantap dariku tentang keunggulan produk kami dan dengan permainan kata-kata milik Roni, konsumen mana yang berani menggelengkan kepala setiap kami tawari produk. Setelah semua barang dagangan kami bawa, segera kami bersiap berkeliling. “Hadi, Roni, mau kemana kalian?” Tanya bos ketika berpapasan dengan kami “Kami mau langsung jualan Pak, mumpung masih belum terlalu siang. Nanti kalau sudah siang, banyak konsumen yang tidur, soalnya sekarang hari Minggu Pak, banyak yang butuh istirahat.” Jawab Roni. Aku sedikit menahan tawa. Diksi dan gestur yang dia gunakan benar-benar berbeda ketika berhadapan dengan bos. Roni menyikut dan nyengir ke arahku, aku pura-pura tidak tahu “Mana tujuan kalian hari ini?” “Tujuan kami hari ini adalah Perumahan Sakti di dekat terminal itu Pak. Para penghuninya kebanyakan orang kantoran, jarang ada di rumah kalau hari-hari biasa, mumpung sekarang hari Minggu, kami berniat menjajakan produk-prosuk ini disana.” Jawabku mantap. Gantian Roni yang melirik sambil tersenyum kepadaku sperti berkata, “Alasanmu cukup bagus juga.” “Hm, baiklah, semoga sukses seperti hari-hari sebelumnya, ingat, jaga sopan santun, tetap tampil rapi, dan tetap tersenyum kepada pelanggan.” “Siap Pak.” Jawab kami bersamaan Setelah bos berlalu, aku masih terus memandanginya, bukan, bukan memandanginya, tapi memandangi seseorang disebelahnya. Wanita dengan pandangan teduh, mata yang indah, dan kepribadian yang benar-benar tidak bisa dipercaya. Roni menarik bajuku “Ayolah, dia masa lalumu.” Dari tadi, Roni menyadari kalau aku memandanginya, meski hanya sejenak, sahabatku tahu yang aku lakukan. “Lebih tepatnya masa lalu kelamku.” Tandasku Penjualan kami di Perumahan Sakti tidak seperti yang diharapkan. Kami sudah mengunjungi lebih dari delapan rumah dan menjelaskan seluk beluk psan keunggulan produk kami ini, tapi mereka tetap tidak menyukainya. Kulihat jam tanganku, pukul 11.30, waktunya untuk istirahat. Kami beristirahat sebentar di warung lesehan terminal sambil menikmati bakso dan es degan yang sudah ada di hadapan kami. “Luka lamamu masih terbuka ya? Kau terlihat aneh waktu ngomong dengan pelanggan tadi, apa karena melihatnya sebelum berangkat kau jadi seperti ini?” Roni bertanya padaku. Tidak biasanya dia mengungkit-ungkit masa lalu seperti ini. “Bukan terbuka, tapi menganga. Aku tidak tahu, apa yang aku rasa sekarang” Jawabku singkat kepadanya sambil tersenyum “Ayolah sob, dia sudah bukan siapa-siapa bagimu, dibalik kepribadiannya dan segala hal yang dimilikinya yang membuat semua laki-laki terpana, dia hanya wanita yang. . .” Aku menggebrak meja dan melirik ke arah Roni. Semua pembeli melihat ke arahku, ke arah dua orang di pojokan warung bakso ini “Aku tidak menyalahkannya. Susi tidak salah. Apa yang dilakukan olehnya sangat manusiawi, sangat normal. Dia lebih memilih laki-laki lain dengan masa depan yang lebih cerah daripada harus hidup dengan sales yang belum bisa melunasi biaya kontrakan.” Jawabku tertunduk Roni hanya menghela nafas “Setidaknya, cinta tidak bisa dibeli dengan uang. Uang bisa dicari bersama Di.” Jawab Roni Memang bisa dicari bersama, tapi mana yang kau pilih, mencari harta bersama yang belum tentu sukses seperti aku atau menikmati uang bersama yang sudah pasti terus mengalir seperti yang dimiliki bos? Tidak perlu berbohong, kalian pasti memilih pilihan kedua. Aku dan Susi putus sekitar tujuh bulan lalu, saat dia mengajak aku makan malam di sebuah kafe ternama di kota ini. Aku bahkan rela memecahkan celengan ayam milikku untuk membayar biaya makan malam saat itu. Tapi yang kudapatkan malah hal yang tak kuduga “Maaf Di, aku harus pergi jauh” kata Susi waktu itu “Kenapa? Bukannya kita sudah berjanji? Selalu bersama? Menyelesaikan masalah bersama? Sekarang apa masalahnya?” Aku ngotot waktu itu. “Aku sudah menemukan orang yang lebih bisa diandalkan, lebih memiliki masa depan.” Jawabnya singkat Esoknya, di kantor ada acara dadakan, bos sudah menemukan pasangan hidupnya! Rencananya, mereka akan menikah dalam waktu dekat ini. Benar-benar berbeda dengan aku yang baru saja putus dengan kekasihku semalam. Tibalah saatnya sang kekasih bos datang. Semua pekerja memberikan tepuk tangan yang meriah begitu pintu mobil terbuka. Betapa terkejutnya aku ternyata sang kekasih bos adalah Susi. Aku kaget bukan main, lebih-lebih Roni. Dia bahkan sempat berteriak saat melihat Susi keluar dari mobil. Dia menarikku keluar dari kumpulan karyawan dan bertanya padaku. Aku jelaskan semua kepadanya. Seperti itulah masa laluku tentang cinta “Ayolah, jangan melamun!” Kata Roni sambil melambaikan tangan di hadapanku. “Maaf untuk yang tadi.” “Ya, tak apalah.” Jawabku lugas “Apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita sudah capek ngoceh sambil senyum di hadapan penghuni rumah, akhir-akhirnya juga tidak ada yang beli” Keluh Roni siang ini, dia sangat capek memang, apalagi ketika dia harus berdebat dengan salah satu pemilik rumah yang bekerja sebagai dosen di salah satu universitas di kota. Dia kapok menjawab pertanyaan dosen tadi. Apa saja fungsinya? Kenapa memilih bentuk segi lima untuk produk anda? Tahan lama tidak? Bukannya secara teori, produk anda hanya bertahan dua tahun, Jangan-jangan bahan dari produk anda sudah rusak? Dasar, kalau mau melakukan recycle itu, belajar dulu sama yang ahli, kata pak dosen sambil menepuk dadanya sendiri. Kami berdua hanya manggut-manggut. Kali ini, kami akhirnya merasakan tes skripsi meskipun kami tidak mengenyam bangku kuliah sekalipun. “Tenang saja, aku yang urus.” Aku mencoba meyakinkan Roni sambil terus menyantap bakso. Aku sebenarnya masih belum bisa mengontrol emosi sejak tadi pagi. Waktu kulihat Susi menggandeng tangan bos masuk ke dalam kantor. Entah kenapa, aku masih geram dengan perbuatan itu. Aku harus balas dendam, itu yang kupikirkan sejak tadi pagi. Tapi bagaimana caranya? Tapi masalah itu sudah terpecahkan. Setelah makan siang, kami langsung kembali ke kantor dengan tangan hampa. Aku masih tersenyum sendiri dari tadi. Roni terus melihat ke arahku dari tadi. Pasti dia bingung kenapa aku seperti ini. Terserah kau, ini bukan urusanmu, ini urusanku dengan bos!. Esoknya, aku langsung serahkan laporan penjualan selama seminggu kepada bos. Bos hanya manggut-manggut bangga dengan hasil kerja kami, meskipun di akhir pekan kami gagal. Aku dan Roni tetap menjalani hari-hari seperti biasa. Terus tawar menawar dengan pelanggan dan terus mencari daerah baru yang sekiranya butuh produk kami. Kadang sukses, kadang jug gagal. Namun, Roni heran kenapa akhir-akhir ini dia sering aku traktir untuk makan “Dari mana kau dapat uang Di? Dikasih ortu ya? Dasar anak kecil, wkwkwk” Tanya Roni sambil menikmati gado-gado super jumbo di depannya. “Sudahlah, makan saja, kau juga seperti anak kecil, bawel.” Jawabku singkat Roni hanya mengangkat jempol ke arahku sambil terus mengunyah makanannya. Aku sudah tahu apa yang aku lakukan ini beresiko, sangat beresiko. Aku bahkan bisa dijebloskan ke penjara karena ulahku ini. Tapi, tujuanku adalah membuat bos stress, bingung, dan tidak tahu kenapa laporan penjualan tidak sama dengan uang yang diterima, sehingga dia tidak ada waktu untuk Susi dan akhirnya mereka putus, agar bos juga ikut merasakan apa yang kurasakan! Akhirnya, bos memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa semua karyawan, mengevaluasi dan mengecek semuanya, termasuk aku dan Roni sebagai sales di kantornya, untuk mengecek jumlah penjualan dan uang yang sudah disetorkan, cocok atau tidak, apakah ada yang menggelapkan uang, atau hanya penghitungannya saja yang salah “Hadi, silahkan masuk.” Suara dari dalam ruang memanggilku. Begitu aku masuk, disana sudah ada orang berdasi dengan beberapa orang kekar di sampingnya. Orang ini pasti salah satu dari tim audit perusahaan. “Pejualan produk cukup banyak, juga menjangkau daerah luas, kerjamu bagus juga.” Katanya kepadaku sambil membaca laporan penjualan milikku “Selalu berangkat awal dalam bekerja, juga selalu bersikap baik ke pelanggan, cukup professional.” Dia memujiku lagi “Terima kasih.” Jawabku sambil tersenyum. “Tapi masalahnya, kenapa uang yang kau setorkan berbeda dari yang semestinya?” Dia bertanya sambil melirik tajam ke arahku “Hm? Berbeda bagaimana?” “Kau mungkin bisa membohongi kami, tapi tidak untuk rekan kerjamu sendiri, suruh dia masuk!” Pria berdasi ini menyuruh orang kekar di sampingnya memanggil seseorang untuk masuk ke dalam. Pintu dibuka, pria kekar tadi mempersilahkan seseorang masuk. Roni, yang masuk adalah Roni “Jelaskan semuanya.” Perintah pria berdasi kepada Roni “A.. Aku melihat dia membawa banyak produk waktu berangkat, tapi, ketika pulang, ada beberapa produk yang tidak terjual, dan dia tidak mengembalikannya ke gudang penjualan. Perbuatannya tidak hanya dilakukan sekali, tapi berkali kali, sering juga dia menjual produk perusahaan untuk dia ambil sendiri uangnya” Jelas Roni dengan terbata dan tertunduk. Sesekali dia melihat ke arahku, pandangan matanya seperti mengatakan, “Maaf, tapi yang kau lakukan ilegal Di.” Aku tahu, jadi aku terus tersenyum dan berkata kepada pria berdasi “Semua yang dia katakan benar, aku yang melakukan kecurangan di sini, aku yang memakan uang gelap, lalu kenapa? Apa aku salah ketika aku mengambil uang dari perusahaan?” Jawabku tenang Tiba-tiba, pria kekar mendorong punggungku segera memutar tanganku ke belakang menindih tubuh kurusku dengan badannya. Aku meringis kesakitan, Roni tidak bisa berbuat apa-apa. Tak berapa lama, bos masuk, juga dengan Susi di sampingnya “Kenapa kau lakukan ini semua?” Tanya bos, dia terlihat geram “Karena kau sudah mengambil hidupku! Seandainya kau tidak muncul dalam hidupku, aku tidak akan merasakan sakit seperti ini!” Aku membentak bos dengan tersenyum puas. Sebentar lagi, dia juga merasakan apa yang kurasa. Susi dan Roni melirik ke arahku. Hanya mereka berdua yang tahu maksud perkataanku kepada bos. Mata Roni berkaca-kaca, mungkin dia tidak menyangka bahwa sahabatnya akan bertindak sejauh ini, mencuri uang dari perusahaan hanya agar orang lain merasakan apa yang aku rasakan. Tapi aku senang dengan ini! Seminggu berlalu, aku benar-benar mendekam di penjara. Aku tidak sedih, sama sekali tidak, aku malah senang ketika aku yang berada di balik jeruji besi ini mendengar kabar bahwa perusahaan tempat aku bekerja dulu kolaps karena tidak mampu membayar pajak dan gaji para karyawan. Kerugiannya sekitar empat puluh tujuh juta, dan semua karena ulahku! Tidak apa-apa, yang penting, tujuanku berhasil! Karena kerugiannya itu, pernikahan bos dengan Susi batal, orang tua Susi tidak ingin anaknya hidup terlantar dengan seorang yang baru saja bangkrut. Itu balasan yang setimpal karena sudah mengambil Susi, BOS!!! Fathan Nur Hakim/XII_IPA_2/8

Disscussion Text

There are a lot of discussion as to whether children should be given homework or not. Is it enough for children having time to study at school or needing additional time in home for study after school time?
Some people claim that children do enough work in school already. They also argue that children have their hobbies which they want to do after school, such as sport or music. A further point they make is that a lot of homeworks are pointless and does not help the children learn at all.
However, there are also strong arguments against this point of view. Parents and teachers argue that it is important to find out whether children can work on their own without the support from the teacher. They say that the evening is a good time for children to sit down and think about what they have learned in school.
Furthermore they claim that the school day is too short to get anything done. It makes sense to send home tasks like independent reading or further writing task which do not need the teacher support.
I think, on balance, that some homework is good idea but that should only given at the weekend when children have more time.