Halaman

Minggu, 20 Februari 2011

Proses Sosialisasi Dan Pembentukan Kepribadian


  1. 1.      Pengertian Sosialisasi

-          Charlotte Buhrer
      “ Sosialisasi adalah proses dimana seorang manusia mencoba belajar dan menyesuaikan diri dengan kelompoknya, agar bisa berpartisipasi didalamnya ”
-          Koentjaraningrat
“ Sosialisasi adalah proses dimana seseorang mulai dari anak-anak hingga dewasa menyesuaikan diri dengan individu di lingkungan mereka “
-          Irvind L. Child
“ Sosialisasi adalah proses yang memaksa seseorang untuk mengembangkan potensi tingkah laku aktualnya “
-          Peter L. Berger
“ Sosialisasi adalah proses dimana seorang manusia mencoba menjadi anggota masyarakat dan berpartisipasi di dalamnya “

  1. 2.      Tujuan Sosialisasi

a.      Menambah pengetahuan keterampilan seseorang agar siap hidup di tengah-tengah masyarakat
b.      Menambah kemampuan komunikasi seseorang
c.       Mengembangkan fungsi organik seseorang melalui mawas diri, agar bisa memahami hal baik dan buruk yang ada di masyarakat
d.      Menanamkan nilai dan kepercayaan kepada seseorang

  1. 3.      Tahapan Sosialisasi

-          Tahap Persiapan, tahap saat manusia baru dilahirkan, belum bisa meniru tingkah laku orang lain
-          Tahap Meniru, tahap dimana seorang anak semakin sempurna dalam meniru orang di sekitarnya, sudah mulai mengetahui apa saja kegiatan orang di sekitarnya
-          Tahap Siap Bertindak, tahap dimana seorang anak sudah mulai berinteraksi dengan teman-teman sebayanya di lingkungan hidupnya, mulai bisa menempatkan diri di posisi orang lain
-          Tahap Penerimaan Norma Kolektif, tahap dimana manusia telah menjadi dewasa, sudah mampu bersosialisasi dengan sempurna, sudah bertenggang rasa dengan sesamanya, dalam tahp ini, individu sudah siap terjun dalam masyarakat



Zaman Pra Sejarah


  • Paleolithikum : Animisme, tapi sudah mengenal penguburan, sudah bisa menggunakan api untuk memasak, menghangatkan badan, dan mengusir hewan-hewan buas, peralatan yang digunakan berupa batu kasar, kayu, tulang, kapak perimbas, dan kapak penetak, hidup masih nomaden, tapi sudah berkelompok antara 10-15 orang

  •  Mesolithikum : Sudah mengenal ilmu sihir, sudah bisa bercocok tanam, meramu makanan sederhana. Peralatan yang digunakan berupa batu yang sudah dihaluskan, kapak genggam, kapak pendek, dan sudah bisa menghasilkan tembikar. Hidup di tepi-tepi pantai (berkelompok di dalam gua), hidup nyaris menetap

  •       Neolithikum : Sudah mulai memuja leluhur, sudah bisa membatik, tenun, pertanian menetap, dan beternak. Peralatan yang digunakan berupa batu yang lebih halus dan indah, kapak lonjong, batik, dan sudah menghasilkan tembikar tenun, sudah bisa berkelompok yang telah berpemimpin
  •    Perundagian( Zaman Logam) : memuja leluhur dengan bahan-bahan dari logam, sudah bisa bersawah( membuat pupuk, irigasi, dan tekhnik lainnya), sudah bisa mengolah makanan lebih lanjut, peralatan yang dihasilkan berupa nekara, moko, perhiasan dari logam, muncul norma dan nilai di masyarakat, sudah ada pembagian kerja, hidup sudah mulai menetap secara permanen 

    CERPEN PERTAMAKU



                Suasana kelas masih seperti biasa. Ada yang bernyanyi, mengerjakan tugas, ataupun bercerita tentang pengalaman. Kulihat mereka ceplas-ceplos dalam berkata, entah mereka terlihat seperti bernyanyi, atau melihat atap sambil berfikir, serta mereka yang sedang curhat. Mulut mereka buka-tutup seperti berkata, tapi aku tidak mengerti, semua bercampur aduk amsuk ke dalam telingaku. Mereka semua seperti tak malu dipelototi oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak Wakil Presiden Boediono yang dari tadi pagi pelajaran dimulai hingga sekarang, masih tetap tenang mengamati kami. Jas dan dasi mereka sama, jas hitam dan dasi merah dengan latar belakang Sang Merah Putih. Yang muncul dalam otakku, kenapa beliau tetap tahan mengamati kami, padahal mereka dalam keadaan mmenggantung di tembok?
                Vas bunga yang berada di atas meja guru terlihat begitu mencolok di kelas kami, dengan bunga mawar plastik merah didalamnya. Kelas kami serba putih, tembok puth, lantai berkeramik putih, dan juga pakaian SMA yang kami gunakan saat ini, atasan putih, bawahan putih. Padahal kami sudah berusaha untuk menghiasi kelas kami dengan menempel cita-cita kami di papan khusus dibelakang kelas, begitu juga dengan kata mutiara yang kami ambil dari ucapan Henry Ford,” Apabila sesuatu terlihat melawan kamu, ingatlah, bahwa pesawat bisa terbang karena melawan angin, bukan dengan angin”. Kualihkan pandanganku ke timur kelas. Disana hidup seseorang yang sedang tenang belajar, dengan buku disembunyikan di bawah bangku, sehingga, dia tinggal menatap ke bawah untuk membacanya. Aku sudah menduga. Buku itu pasti buku biologi, entah kelas berapapun itu, dai baca. Tio namanya. Pernah suatu ketika aku bertanya padanya,
    Bro, apabila kau akan diikutkan lomba, sedangkan waktunya tinggal seminggu lagi, apa uang kau lakukan?”
    “ Ya, belajar dengan tekhnik genjot
                Aku malu. Pada saat itu aku benar-benar malu dan iri. Dari aksennya, dia terlihat sudah sering belajar dengan ekstrim seperti itu, tiap ada waktu luang, belajar, dan menambah waktu belajar di malam harinya. Tapi aku, belum menguasai semua materi. Alhamdulillah sobat, seminggu lagi aku akan diikiutkan lomba matematika tingkat kabupaten mewakili sekolah. Mungkin kalian akan merasa bangga, tapi tidak untukku. Aku takut, gelisah, cemas. Bagaimana jika aku gagal dalam lomba tersebut? Sekolahku akan diacuhkan oleh masyarakat. Hingga hari ini, hanya sebagian materi yang aku pelajari, itupun masih kucampur dengan bermain dan bercanda bersama teman-teman.
                Kuperhatikan lagi Tio, dia masih tenang dan khusyu’ dalam membaca kitab Campbellnya, kupelototi dia, dia semakin tenang, semakin khusyu’. Aku ngeri melihatnya, api tersulut membakar tubuhku, motivasi dalam diriku membuncah, kuambil soal yang telah lama diberikan oleh pembina, dalam diriku, aku katakan,
    “ Hanu, jangan mau kalah, kau harus bisa! Tio makan nasi, kau juga, sekarang kenapa kau harus menyerah? Kau seorang laki-laki!!!”
    Kubuka lembaran soal itu, kulihat nomor dua puluh, membahas tentang trigonometri, kucoba memecahkannya, kucoba dengan rumus sinus dan kosinus, nol, masih nol. Otakku masih belum kuat, hingga tanganku berkeringat, aku belum bisa memecahkannya.
    “ Aku masih belum siap, aku harus belajar lebih dari ini...”
                Entah kenapa, aku merasa sangat pusing. Diantara suara teman-teman yang masih berceloteh dari tadi, suara pintu dibuka ikut bercampur di telingaku. Kutoleh ke sumber suara. Bu Ika, guru Bahasa Indonesia kami, memasuki kelas. Teman-teman belum sadar, untung tempatku tepat berada di depan meja guru, aku langsung menyadarinya. Lama-kelamaan, teman-teman menyadarinya dan kembali ke sarangnya masing-masing. Achmad, temanku yang berbobot 98 kg, langsung menuju ke bangku di sebelahku, karena itulah tempatnya. Aku menahan tawa, tingkah polahnya yang lucu serta perawakan yang sudah pasti gemuk membuatku menjulukinya ‘Tanker’.
                Sedangkan teman-teman lain lebih suka memanggilnya dengan sebutan ‘Smex’. Namun dia tetap diam dan malah lebih suka dipanggil seperti itu daripada nama aslinya, Achmad. Dengan pandangan yang sedikit pucat, Bu Ika memandangi kami,
    “Hari...ini kita akan membuat cerpen”
    Kata beliau membuka pelajaran. Kami agak kaget, suaranya sangat aneh dari biasanya. Bu Ika berperawakan agak gemuk, dengan jilbab yang seragam dengan pakaian PNS-nya.
    “Maaf, hari ini..... suara saya agak seksi, karena saya sedang tidak enak badan”.
    Sontak aku hanya menahan tawa, sedangkan teman yang lain ada yang tertawa, atau hanya menahan tersenyum. Masih sempat saja beliau bercanda dengan majas eupemismenya. Beliau hanya tersenyum melihat tingkah laku kami. Dengan sigap beliau menulis di papan
         TIPS
    -          Jangan pikirkan “ mulai dari mana?”
    -          Jangan pikirkan ” judulnya apa?”
    -          Jangan pikirkan “ jika dibaca orang bagaimana?”

    CERPEN YANG BAIK
    -          Berkesan/ deep impression
    -          Alur menarik
    -          “Beda”
    Segera teman-teman menulis di kertas buram yang telah dibagikan oleh ketua kelas kami, Ardi, yang dia ambil dari kantor. Kulihat beberapa teman-teman perempuan di kelas. Tangan mereka seperti air mengalir di kolam, mereka menulis tiada henti. Tanganku masih kaku, aku seperti patung, hanya bisa diam sambil memeras otak, sambil memandangi “TIPS” dan “CERPEN YANG BAIK” di papan tulis. Kutengok ke atas, kulihat Pak SBY dan Boediono menari-nari sambil berkata,
    “ Apa yang kau lakukan? Kau tidak punya insting untuk menjadi cerpenis, wkwkwkw.....”
    Kubuang wajahku dari 2 orang petinggi negara ini. Kucoba pejamkan mata, berfikir, berfikir, dan berfikir,
    “Apa yang akan kutulis?”
    Aku tersadar, segera kuambil bolpoin dan kugoreskan diatas kertas buram yang dari tadi kugenggam, baiklah Sobat, inilah cerpenku.

                      Oleh: Fathan Nur Hakim (X-2/14)