Halaman

Sabtu, 24 September 2011

Mudik Lebaran

Mudik, adalah “tradisi” penutup lebaran yang sudah ada di Indonesia, entah kapan lahirnya mudik itu sendiri. Semua putra daerah, anak bangsa yang berada di luar negeri, kembali ke daerahnya masing-masing. Mereka berkumpul dengan sanak saudara, keluarga, dan teman masa kecil di daerah masing-masing. Bukan hanya putra daerah maupun anak bangsa, namun semua masyarakat dari berbagai golongan, baik kaya, miskin, tua, muda, laki-laki, perempuan, semua bersuka cita. Hilang sudah semua lelah dan rasa kantuk yang berada di perjalanan. Semua serasa tertinggal di jalanan dan tidak ada yang terbawa ke kampung halaman.
Canda, tawa, dan pesta kecil adalah acara yang sudah biasa jika kita telah berada di kampung halaman. Selalu saja kehangatan masa silam hadir. Tidak jarang kita bertanya dalam hati, “Benarkah saya dulu tinggal disini?”. “Benarkah saya berteman dengan mereka yang baik ini?”. Pertanyaan itu muncul karena besarnya rasa kangen kita untuk berkumpul bersama semua sanak saudara kita. Namun, dalam ritual mudik juga terdapat nilai kekerabatan yang perlu ditanamkan dalam diri kita, sehingga tumbuhlah nilai-nilai silaturahmi yang kuat, hubungan perasaan yang akrab, juga sebagai media pendidikan, seperti menghormati dan menghargai anggota keluarga, sehingga kita diterapkan dan dipraktekkan secara langsung oleh kita dan adik-adik kita kelak. Apabila kita dalam mudik tidak diperkrnalkan kepada nenek, kakek, dan anggota keluarga yang lain, tentu yang ada dalam setiap mudik adalah “mampir ngombe”. Setelah itu kita akan lebih memilih menghabiskan waktu untuk menuju tempat rekreasi ataupun tempat hiburan.
Jadi, dalam setiap tradisi mudik ada kesempatan yang harus kita manfaatkan untuk menanamkan rasa kekerabatan dan kekeluargaan kepada adik-adik kita, sehingga mereka akan mengenal, mengerti, dan merasakan hangatnya kekerabatan yang muncul saat kita berkumpul dengan keluarga

Raden Patah

“Saya adalah ulama asing yang datang ke Pulau Jawa. Hanya sementara waktu saya memimpin masyarakat Islam Jawa berkat keizinan Sang Prabu (Raja Majapahit). Berbeda dengan kamu. Kamu orang Jawa tulen, turun-temurun orang Jawa yang memiliki Pulau Jawa”.
Kata-kata Sunan Ampel (salah seorang Wali Songo) itu telah menjadi perangsang kepada Raden Patah yang kemudiannya telah menegakkan kerajaan Demak, yaitu kerajaan Islam yang pertama di Jawa. Raden Patah telah memainkan peranan yang amat penting dalam pengislaman orang-orang di Jawa dan timur Nusantara. Dengan mendirikan kerajaan Islam Demak dan penaklukannya ke atas kerajaan Hindu Majapahit serta pengusiran tentara Portugis dari Jawa Barat, pengislaman Jawa adalah terjamin. Terbinanya kerajaan Islam Demak merupakan satu titik peralihan dalam sejarah Jawa dan timur Nusantara.
Asal-usul Raden Patah tidak diketahui dengan jelas. Menurut kitab Babad Tanah Jawi, dikisahkan beliau datang dari Palembang. Raden Patah adalah putra Brawijaya, raja Majapahit (1466-1478) dengan seorang puteri Campa. Atas desakan isteri Kertabhumi yang lain, puteri Campa yang hamil itu telah diberi kepada Bupati Palembang yang bernama Arya Damar, yang tak lain adalah putra sulung Brawijaya untuk dijadikan sebagainya isterinya. Ternyata, puteri Campa itu diketahui bernama Anarawati (Dwarawati) yang beragama Islam. Di Palembang itulah Raden Patah dilahirkan. Beliau dipelihara oleh bapa tirinya antara tahun 1455 hingga 1474. Raden Patah sendiri bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama

Raden Patah memiliki tiga orang istri. Yang pertama adalah putri Sunan Ampel, menjadi permaisuri utama, melahirkan Raden Surya dan Raden Trenggana, yang masing-masing secara berurutan kemudian naik takhta, bergelar Pangeran Seberang Lor dan Sultan Trenggana.
Istri yang kedua seorang putri dari Randu Sanga, melahirkan Raden Kanduruwan. Raden Kanduruwan ini pada pemerintahan Sultan Trenggana berjasa menaklukkan Sumenep
Istri yang ketiga adalah putri bupati Jipang, melahirkan Raden Kikin dan Ratu Mas Nyawa
Raden Patah enggan menjadi Bupati Palembang untuk menggantikan bapak tirinya itu, oleh karena itu, beliau bersama Raden Kusen (adik tirinya) memutuskan untuk pergi belayar ke Pulau Jawa pada tahun 1474.
Mereka tiba di Surabaya dan berguru kepada Sunan Ampel mulai tahun tersebut. Raden Patah kemudian menikah dengan anak Sunan Ampel itu. Raden Kusen sendiri telah pergi ke Majapahit. Karena Raden Kusen pandai membuat petasan, dia telah diterima oleh Kertabumi, Raja Majapahit saat itu dan diangkat menjadi Adipati Terung, sebuah wilayah Majapahit. Sebenarnya kepergiannya ke Majapahit itu adalah sebagai pengintip rahasia untuk Raden Patah yang berencana menaklukan Majapahit. Pada suatu pagi, dipanggillah Raden Patah oleh gurunya, yang tak lain adalah Sunan Ampel sendiri
“Ada apa gerangan Guru memanggil saya?”. Kata Raden Patah penuh tanya
“Wahai Muridku, baru sekitar 1 tahun kau berada di Surabaya, berguru kepadaku, namun, ilmu agama yang kuajarkan padamu telah kau serap dengan baik. Bukan hanya teori yang kau kuasai, namun kau juga sudah bisa mempraktekkan semuanya dengan baik. Ilmu yang kau dapat sudah sepadan dengan ilmu muridku lain yang sudah berguru selama beberapa tahun kepadaku”.
“Wahai Guruku, tentu semua ilmu itu aku dapat dengan bimbingan penuh dari Guru. Seandainya saya tidak menjadi murid Guru, tidak mungkin saya bisa menjadi imam sholat dan sholat dengan kusyu’, membaca Al-Qur’an dengan fasih, mengerjakan wudhu dengan sebenar-benarnya wudhu, mengeluarkan zakat sesuai aturan, dan mengerjakan amalan lain dengan baik. Sekali lagi, semua itu tidak akan pernah saya dapat kecuali bimbingan dari Guru”. Jelas Raden Patah.
“Ya, benar. Kau sudah memiliki dan mempraktekkan hampir semua ilmu yang ada dalam dirimu. Kau benar-benar telah menjadi pemuda muslim yang kuat, namun, ada salah satu ilmu yang belum kau praktekkan”. Jawab Sunan Ampel
“Ilmu apakah itu wahai Guru?”. Tanya Raden Patah.
“Kau belum mengamalkan semua ilmu itu ke masyarakat luas. Seandainya kau menyebarkan semua ilmu itu ke masyarakat, tentu masyarakat Jawa akan menjadi masyarakat Islam madani. Mereka akan hidup berdasarkan aturan Islam, makan, minum, tidur, bekerja, semua akan berjalan sesuai aturan Islam. Tidakkah kau ingin melihat masyarakat Jawa hidup seperti itu, wahai Muridku?”. Jawab Sunan Ampel
“Wahai Guruku yang aku muliakan, tentu aku ingin melihat kehidupan masyarakat Jawa yang seperti itu. Tentu mereka akan merasa nyaman dan tentram dalam menjalani hidup. Jika ada masalah dalam hidup mereka, tentu akan segera mendapat solusi, jika mereka hidup dengan landasan agama Islam. Lalu, apa yang harus aku lakukan agar tercipta masyarakat Jawa yang seperti itu, wahai Guru?”.
“Pergilah, Mengelanalah ke daerah Jawa Tengah, bina masyarakat dimana kau akan tinggal disana. Kuharap, kau benar-benar bisa mengamalkan ilmu yang kau dapat disini”. Perintah Sunan Ampel kepada Raden Patah
“Baiklah guru, aku akan melaksanakan perintahmu itu, aku akan berusaha agar membina masyarakat disana, akan kudirikan masjid, akan kuajarkan ilmuku di masjid itu, hingga kau mendengar kabarku dengan keberhasilanku mengislamkan masyarakat di daerah Jawa Tengah”. Janji Raden Patah
Esoknya, Raden Patah bersiap untuk mengembara, dia kemasi barang-barang, berpamitan kepada teman-temannya, tak lupa dia juga meminta izin kepada guru tercintanya
“Guru, di tempat ini aku menimba ilmu selama setahun, kau bimbing aku yang masih buta akan indahnya Islam, sekarang, aku telah mengetahui seperti apa Islam itu, telah kupelajari seluk beluk, sejarah, aturan, dan semua hal yang berada di dalam agama Islam. Dan detik ini, aku penuhi perintahmu untuk mengelana dan mengamalkan Islam di daerah yang masih belum paham seperti apa Islam itu, oleh karena itu, aku memohon do’amu, agar aku benar-benar bisa memasukkan Islam kedalam diri mereka”. Pinta Raden Patah
“Wahai Muridku, tentu aku akan mendo’akanmu dari sini, agar kau selamat dalam perjalanan dan selamat saat mengamalkan dan berdakwah di daerah sana. Dan satu lagi pesanku, kuharap kau mengislamkan masyarakatmu tidak dengan paksaan, tapi dengan kesukarelaan yang ada dalam diri mereka, sehingga mereka akan lebih mencintai Islam”. Pesan Sunan Ampel
“Tentu saja Guru, aku akan memasukkan Islam kedalam hati mereka dengan baik, agar mereka tidak terpaksa untuk masuk Islam, agar mereka masuk Islam dengan sukarela dan benar-benar dari hati mereka sendiri. Dan aku juga sangat berterima kasih telah mendo’akanku”.
Setelah itu, Raden Patah melangkahkan kaki meninggalkan tempat gurunya, menuju ke arah barat, menuju Jawa Tengah untuk berdakwah disana. Berhari-hari beliau berjalan menuju ke arah barat, meski begitu, tak jarang beliau berhenti hanya untuk melaksanakan sholat, lalu melanjutkan perjalanan ke arah Jawa Tengah.
Sesampainya di Jawa Tengah, Raden Patah bingung, bagaimana agar bisa berdakwah dengan baik, tanpa menyinggung dan mengganggu mereka yang beragama lain. Akhirnya beliau membuka lahan di hutan Glagahwangi dan merubahnya menjadi sebuah pesantren pada tahun 1475. Dia menepati janjinya kepada Sunan Ampel, yaitu membangun dan membina masjid serta mengajar agama Islam di situ.
Semakin lama pesantren Glagahwangi semakin maju. Prabu Brawijaya takut jika Raden Patah akan melakukan pemberontakan, oleh karena itu, beliau memerintahkan Raden Kusen untuk memanggil Raden Patah ke Majapahit. Sesampainya di Majapahit, Brawijaya sangat terkesean dengan Raden Patah dan akhirnya mau mengakui bahwa Raden Patah adalah putra beliau. Lalu, Raden Patah diangkat menjadi bupati, sedangkan Glagahwangi berubah nama menjadi Demak, dengan ibukota Bintara
Pemilihan Demak sebagai pusat kerajaan merupakan suatu keputusan yang bijak karena kerajaan ini terletak di tempat yang strategis. Ini disebabkan karena, pertama, ia menguasai tanah dataran yang mengeluarkan hasil padi di utara Jawa (dari Jepara hingga Gresik) dan kedua, ia menguasai perniagaan di dua buah pelabuhan , yaitu pelabuhan Jepara dan Gresik. Melalui Jepara beras diesksport ke Malaka, manakala melalui Gresik, terdapat perniagaan yang menguasai kepulauan rempah di Maluku.
Selain daripada mengajar agama Islam di situ, Raden Patah juga melatih orang-orang Islam keturunan Jawa dan Cina yang menjadi pengikutnya tentang teknik-teknik peperangan. Hanya dalam tempo tiga tahun dia berhasil melatih 1.000 orang pengikut. Sebagai seorang pemimpin yang arif akan keadaan sekelilingnya, dia sadar bahwa kekuatan kerajaan Hindu Majapahit telah lemah. Ini merupakan salah satu peluang yang baik baginya untuk meluaskan kekuasaan dan dengan ini dapat mengembangkan syariat Islam.
Raden Patah telah menjalankan strategi berikut untuk menguasai Jawa:
1. Dari tahun 1474 sampai 1477, beliau mengumpulkan pengikutnya dan mengukukuhkan kekuasaan yang sudah berada di tangan beliau di demak
2. Dari tahun 1477 hingga 1478, beliau menaklukan pelabuhan untuk menguasai lalu-lintas perairan di utara Jawa. Ini telah melemahkan kekuatan kerajaan Majapahit dalam bidang perniagaan, di samping itu juga menambah kekayaan kepada Demak.
3. Pada tahun 1478, Raden Patah berhasil menaklukkan dan menguasai Majapahit.
4. Pada tahun 1512, beliau mencoba menguasai Malaka, tetapi telah digagalkan oleh Portugis.
Pada tahun 1477, Raden Patah berjaya menawan pelabuhan Semarang dan memerintah dengan adil serta mendapat kerjasama daripada orang-orang Cina yang mahir membuat kapal. Dengan kapal-kapal itulah, Raden Patah telah dapat menguasai lalu-lintas di perairan Laut Jawa. Dia tidak memaksa orang-orang Cina dan pedagang-pedagang memeluk Islam kearena dia sadar bahawa orang-orang tersebut akan lebih tertarik kepada Islam dengan memberi mereka layanan yang baik daripada menggunakan kekerasan.
Setelah merasa cukup kuat dan banyak mendapat laporan dari Raden Kusen, Raden Patah mencoba menyerang Majapahit pada tahun 1478. Dikisahkan, Sunan Ampel melarang Raden Patah memberontak pada Majapahit karena meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah. Terjadi perbincangan diantara murid dan guru tersebut,
“Wahai Muridku, benarkah kau tetap membulatkan tekadmu untuk menyerang Kerajaan Majapahit?”, tanya Sunan Ampel
“Iya, Guruku. Aku sudah membulatkan tekadku untuk menyerang Majapahit”. Jawab Raden Patah
“Tidakkah kau tahu? Disana ada Prabu Brawijaya yang tak lain adalah ayahmu sendiri?”
“Iya, Guruku. Aku telah tahu benar bahwa disanalah ayahku tinggal, namun, saya akan menyerang Majapahit dengan 2 misi”. Jawa Raden Patah
“Misi apa sajakah itu?”
“Misi yang pertama, saya ingin memperluas kerajaan Demak ini, agar menjadi sebuah kerajaan maritim yang besar dan disegani seperti masa kejayaan Majapahit dulu”.
“Lalu, misi keduamu?”. Tanya Sunan Ampel
“Saya ingin melakukan serangan balasan kepada Majapahit yang telah lebih dulu menyerang saudara-saudara kita yang berada di Gresik”.
“Wahai muridku, aku harap tidak ada campur tangan agama dalam penyeranganmu ini, aku harap seranganmu ini memang karena kau ingin meluaskan kerajaan Majapahit. Karena, seperti yang telah kau tahu, Islam sangat membenci kekerasan, jika memang ada seseorang yang ingin masuk Islam, itu adalah dengan kerelaan yang ada dalam diri mereka sendiri”.
“Wahai guruku, tentu aku sudah mengetahui apa yang baru saja Engkau ucapkan. Aku juga sudah mencoba untuk mengajak ayahku untuk masuk Islam, namun beliau tetap menolak. Berkali-kali aku mengajak beliau masuk Islam, berkali-kali juga beliau menolak. Aku tidak akan memaksa beliau masuk Islam dengan serangan ini, tujuanku hanya untuk menyelesaikan masalah politik”.
Terus terjadi tanya jawab diantara murid dan guru tersebut, Raden Patah adalah murid yang sangat menghormati guru, oleh karena itu, beliau menurut saja kepada sang guru ketika dilarang untuk menyerang Majapahit.
Setelah Sunan Ampel meninggal dunia, Raden Patah menyerang Majapahit. Brawijaya meninggal dalam serangan itu. Yang tak lain dibunuh oleh putranya sendiri, yaitu Raden Patah. Untuk menetralisasi pengaruh agama lama, Sunan Giri menduduki takhta Majapahit selama 40 hari. Serangan itu telah berhasil menaklukan Majapahit dengan begitu cepat. Raja Kertabumi lari ke Sengguruh di Jawa Timur, dan akhirnya ke Bali. Alat-alat kebesaran dan harta-harta Majapahit telah dibawa ke Demak menggunakan tujuh buah kereta kuda. Setelah itu, Raden Kusen telah dilantik menjadi Bupati Semarang pada tahun 1478. Raden Kusen telah membina tempat membuat kapal yang besar di Semarang.
Pada tahun 1479 Raden Patah meresmikan Masjid Agung Demak sebagai pusat pemerintahan. Ia juga memperkenalkan pemakaian Salokantara sebagai kitab undang-undang kerajaan. Kepada umat beragama lain, sikap Raden Patah sangat toleran. Kuil Sam Po Kong di Semarang tidak dipaksa kembali menjadi masjid, sebagaimana dulu saat didirikan oleh Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam.
Raden Patah juga tidak mau memerangi umat Hindu dan Buddha sebagaimana wasiat Sunan Ampel, gurunya. Meskipun naskah babad dan serat memberitakan ia menyerang Majapahit, hal itu dilatarbelakangi persaingan politik memperebutkan kekuasaan pulau Jawa, bukan karena sentimen agama. Lagi pula, naskah babad dan serat juga memberitakan kalau pihak Majapahit lebih dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di Gresik.
Raden Patah juga telah melantik seorang lelaki Cina bernama Njoo Lay Wa sebagai gabenur di Majapahit. Ini dilakukannya disebabkan dia bimbang kalau-kalau gabenur yang terdiri dari orang Jawa dapat mempengaruhi penduduk tempat untuk bangkit memberontak. Ternyata, firasat Raden Patah ini benar-benar terjadi. Gubenur Njoo Lay Wa telah dibunuh oleh orang-orang Majapahit pada tahun 1846. Lalu, Raden Patah telah menggantikannya dengan menantu Kertabumi bernama Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya yang menerbitkan prasasti Jiyu tahun 1486 dan mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kediri. Yang juga menjadi ipar beliau dan memerintah selama 40 tahun (1486-1527).
Selain itu, Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan prasasti Petak yang berkisah tentang perang melawan Majapahit. Berita ini melahirkan pendapat kalau Majapahit runtuh tahun 1478 bukan karena serangan Demak, melainkan karena serangan keluarga Girindrawardhana.
Diceritakan pula, Girindrawardhana telah berpaling tangan, dan dapat menarik sokongan orang-orang Majapahit dan mengadakan hubungan dengan orang-orang Portugis di Malaka untuk melawan Demak. Oleh hal yang demikian itu, tentera Demak di bawah pimpinan Raden Patah terpaksa menentang Majapahit sekali lagi pada tahun 1517.
Setelah melawan Majapahit buat pertama kalinya pada tahun 1478, Raden Patah bercita-cita pula untuk melawan Malaka karena tempat itu merupakan pusat perdagangan yang menjadi tandingan untuk Jepara dan Gresik di Nusantara dalam bidang perniagaan. Bagaimanapun, persiapan untuk melawan Malaka yang ketika itu semakin goyah dengan masalah dalam kerajaan, telah lengkap pada tahun 1512 dan ketika itu pula Malaka telah jatuh ke tangan Portugis setahun sebelumnya (1511). Bagaimanapun, Raden Patah menambahkan lagi sebab mengapa beliau ingin melawan Malaka, yaitu karena Malaka telah jatuh ke tangan orang bukan Islam. Pada serangan itu, pasukan dari Kerajaan Demak dipimpin oleh anak Raden Patah, Pati Unus, sebelum penyerangan, Raden Patah mengajak anaknya tersebut untuk berbincang-bincang,
“Wahai Anakku, kesinilah, ada yang ingin aku bicarakan denganmu”. Kata Raden Patah memanggil Pati Unus
“Ayahandaku tercinta, ada apa gerangan Ayahanda memanggil saya?”. Jawab Pati Unus
“Aku hanya ingin memastikan, apakah kau benar-benar siap memimpin pasukan kita untuk menyerang Malaka? Kuyakin kau juga sudah tahu bahwa Malaka terletak nun jauh di ujung utara Nusantara, pasti juga akan membuat tenaga pasukan serta dirimu berkurang sebelum kau sempat menyerang, apkah kau benar-benar siap?”.
“Wahai Ayahku, aku sebagai anakmu, anak dari Raden Patah, pendiri Kerajaan Demak yang telah menggulingkan kekuatan adikuasa Kerajaan Majapahit, tentu telah siap akan semua kondisi dan kemungkinan yang buruk seperti itu. Bahkan jika semua kapal yang saya bawa diterjang ombak, saya akan tetap melanjutkan serangan ke Malaka,apapun yang terjadi, saya siap mengabdikan semua jiwa dan raga saya demi jayanya Kerajaan Demak ini”. Terang Pati Unus
“Wahai Anakku, apakah kau tahu, siapa yang menguasai Malaka saat ini?”. Tanya Raden Patah
“Tentu Ayahandaku, Portugis telah merebut Malaka setahun yang lalu”. Jawab Pati Unus
“Sebenarnya, tujuanku untuk menyerang Malaka yang lain adalah untuk menunjukkan kepada dunia, bahwa kita, orang Islam Jawa, benar-benar ingin menjadi penguasa di Nusantara ini, agar mereka bangsa Portugis bisa mengetahui kekuatan kita yang sebenarnya, agar kita tidak terus-terusan diperbudak oleh mereka semua, karena seperti yang kau ketahui, Malaka adalah pusat perdagangan ataupun perniagaan yang berada di Nusantara dan sekitarnya, jadi secara tidak langsung perekonomian kita bergantung kepada mereka, bangsa Portugis”. Terang Raden Patah
“Wahai Ayahandaku, tentu saja saya tahu, bahwa pusat perdagangan sekarang berada di Malaka yang dikuasai Portugis, dan apabila kita berhasil menaklukkan Malaka pada penyerangan kali ini, Malaka akan berada di bawah kendali umat Islam, sehingga kita juga bisa berdakwah disana, menyebarkan agama Islam yang sebenar-benarnya agama dengan bebas. Selain itu, kita juga bisa menerapkan perekonomian yang diajarkan oleh agama Islam, tidak perekonomian yang hanya menguntungkan satu pihak seperti yang dipraktekkan bangsa Portugis di Malaka”. Jawab Pati Unus
“Semoga apa yang kita harapkan ini benar-benar diridhoi oleh Allah, sehingga kita bisa menegakkan agama kita ini sampai akhir hayat”. Tutup Raden Patah dalam pembicaraan dengan anaknya tersebut
Esoknya, Armada Demak (Jawa) yang diketuai oleh Patih Unus benar-benar melancarkan serangan ke Malaka, dengan niat untuk meluaskan Kerajaan Demak dan menegakkan agama Islam, Pati Unus berangkat dengan dorongan semangat dari semua rakyat Kerajaan Demak. Beliau berlayar melewati lautan luas yang tenang, tiada ombak besar yang mengganggu, namun, di pucuk utara sana, ada ratusan kapal Portugis yang telah siap melawan siapa saja, yang telah berancang-ancang untuk menghancur leburkan semangat serta keteguhan niat dari Pati Unus. Dan semua itu benarlah sudah. Ketika armada Demak sudah terlihat dari pantai Malaka, maka pasukan Portugis telah berancang-ancang untuk menerima serangan mereka. Sebelum pasukan dari Pati Unus berhasil menyentuh kapal-kapal Portugis, sudah ada beberapa kapal mereka yang karam, ini karena Portugis menggunakan alat peperangan modern dan berhasil menenggelamkan kapal-kapal Demak dari jauh karena mereka menggunakan meriam besar jarak jauh. Meskipun pasukan yang dibawa oleh Pati Unus adalah pasukan pemanah, namun jarak panah yang dilancarakan masih kalah jauh dengan meriam yang ditembakkan oleh pasukan Portugis. Manakala tentara Demak yang berkeinginan untuk menghancurkan meriam yang dimiliki kapal Portugis dan kemudian menaikinya untuk menawannya, semua hanya impian belaka. Karena pasukan Demak tidak ada yang bisa mendekati kapal Portugis.
Kekalahan tersebut bukan kekurangan semangat atau bilangan tentara tetapi karena kemunduran teknologi orang Demak sendiri. Meskipun Demak membawa pasukan infanteri yang sangat banyak, semua tidak berdaya saat melawan serangan jarak jauh. Akhirnya, dari 100 buah kapal yang menyerang Malaka itu, hanya tujuh atau delapan buah saja yang pulang ke Demak bersama dengan Patih Unus. Sesampainya di Demak, semua tertunduk, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut pasukan yang kembali, hanya Pati Unus yang berbicara kepada ayahnya, yaitu Raden Patah, yang telah menunggu kepulangan anaknya dengan kemenangan gemilang. Dengan bersimpuh, Pati Unus berucap
“Maafkan saya, Ayahanda, saya gagal dalam penyerangan ini..”.
“Tidak apa-apa Anakku, semua sudah tertulis di laughful mahfudz. Mungkin inilah takdir kita, kita diberi tahu oleh Allah bahwa kita masih belum kuat untuk melawan kedigdayaan Portugis di Malaka”. Jawab Raden Patah sambil mengelus kepala dan membersihkan airmata yang terus mengalir dengan derasnya di kedua pipi Pati Unus
Setelah Raden Patah menundukkan kerajaan Hindu di Jawa dan menentang Portugis, kekuasaan yang berada di Kerajaan Demak diteruskan oleh pengganti-penggantinya. Raden Patah meninggal dunia pada tahun 1518 pada usia 63 tahun dan digantikan oleh anaknya, Patih Unus atau Raden Surya yang bergelar Pangeran Seberang Lor sebagai raja Demak. Pada tahun 1512, sekali lagi Patih Unus menyerang Portugis di Malaka, tetapi kali ini juga gagal. Patih Unus meninggal dunia pada tahun tersebut setelah pulang dari Malaka.
. Ketika Pangean Sabrang Lor (Pati Unus) meninggal tahun 1521, Raden Kikin (putra Raden Patah dari istri ketiga) dan Raden Trenggana bersaing memperebutkan takhta. Raden Kikin akhirnya mati dibunuh putra sulung Raden Trenggana yang bernama Raden Mukmin alias Sunan Prawata, di tepi sungai. Oleh karena itu, Raden Kikin pun dijuluki Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya bunga yang gugur di sungai.
Setelah terjadi peebutan kekuasaan, Sultan Terengganu sebagai pengganti Pati Unus telah menjadi pemimpin Demak dari tahun 1521 hingga 1546. Demak mencapai kekuasaan yang terbesar ketika itu. Pada zaman pemerintahan Sultan Terengganu, wilayah Demak telah diperluaskan lagi. Majapahit yang mulai mengadakan hubungan dengan Portugis di Melaka telah dilawan sekali lagi oleh Demak pada tahun 1527 di bawah pimpinan Sunan Gunung Jati (salah seorang Wali Songo). Setahun sebelum itu Sunan Gunung Jati telah menewaskan armada Portugis di Sunda Kapala di Jawa Barat dan mendirikan kota Jayakarta (Jakarta sekarang – dikenali sebagai Batavia atau Betawi pada zaman pemerintahan Belanda). Tindakan ini menghalang Portugis untuk menginjakkan kaki di Pulau Jawa.
Raden Patah telah menyandarkan kekuatannya kepada masyarakat di persisiran pantai kerana dia bercita-cita membina sebuah negara atau kerajaan Islam maritim. Oleh sebab itu, perhatiannya telah dicurahkan kepada pembina-pembina kapal di pelabuhan untuk membangunkan kekuatan armadanya. Segala kekuatan Demak telah dikerahkan untuk menentang Portugis supaya dapat mengambil alih kuasa perdagangan di Nusantara. Sampai hari ini, dia telah berjaya menghalang Portugis untuk menginjakkan di Jawa tetapi gagal menghalau kekuasaan Eropa yang datang dari kepulauan Maluku yang kaya dengan hasil rempah.
Disebabkan Raden Patah banyak menumpukan tenaga dan fikiran untuk menyiapkan keperluan agar bisa melawan Portugis, dia kurang memberi tumpuan kepada rakyat di kawasan pedalaman. Oleh hal yang demikian, dia tidak mendapat sokongan rakyat di kawasan-kawasan tersebut. Akhirnya kerajaan Demak selepas Raden Patah dan dua orang penggantinya, telah runtuh diserang kerajaan Islam Pajang pada tahun 1546 yang mendapat sokongan dari rakyat di pedalaman.