Halaman

Kamis, 17 November 2011

SYUKUR

Lelah, satu kata itu yang bisa menggambarkan keadaanku saat ini. Aku malas untuk beranjak dari tempat tidur. Kenyamanannya tak terganti. Tak ada yang bisa mengalahkan. Jika para remaja yang sebaya denganku bercerita bahwa taman kota adalah tempat terindah untuk berkencan dan para orang tua bertuah bahwa kursi goyang adalah tempat terakhir untuk menikmati hidup, maka aku berucap bahwa tempat tidur adalah tempat paling nyaman. Entah kenapa, aku sangat malas untuk bangun, mungkin karena rantai setan yang mengikat tangan dan kakiku agar aku tidak sholat shubuh. Ya, mungkin itu sebabnya.
Sudah cukup aku dikalahkan oleh setan! Kugenggamkan kedua tanganku, kuhapus semua kenyamanan dalam kasurku yang empuk, kucoba untuk mengangkat badan, kaki, dan tangan. Rantai itu tetap mengikatku, tapi aku merasakan bahwa rantai itu semakin lama semakin renggang, ayo Andi, kamu bisaaaaaaa!!!!!
TTTRRRRAAAANNNGGG!!!!!

Akhirnya rantai kemalasanku telah hancur. Kulihat jam di handphone, 04.20, segera aku mengambil air wudhu, CCCEEEESSSSS..... air di pagi ini seperti air es. Aku benar-benar terkejut, kutarik kembali tenganku dari pancuran air kran. Kubulatkan tekat,” itu hanya air”, Kataku dalam hati. Kupaksa tanganku untuk mengambil air wudhu. Akhirnya, aku sudah selesai wudhu, segera kudirikan sholat shubuh karena waktu sudah hampir habis. Kukenakan sarung batik dan sajadah bergambar masjid berwarna biru
Sesudah sholat, aku berbelok menuju dapur. Kulihat ibu sedang memasak, tapi aku tidak tahu apa yang dimasak oleh ibu tercintaku. Entah sudah berapa kali beliau membuat aku bahagia, tapi aku tidak pernah membuat beliau tersenyum, aku yakin Sobat juga merasakan hal yang sama denganku.
“ Tolong Nak, bukakan pintu belakang itu, agar udara pagi bisa memenuhi dada kita, setelah itu jangan lupa halaman depan disapu”
Tolong. Ibu benar-benar spesial. Padahal, tanpa kata ‘tolong’ pun, akan kulakukan itu. Entah kenapa, meski itu siapapun, jika ibu tidak bisa melakukan suatu kegiatan, selalu ada kata tolong di awal kalimat beliau, aku yakin, Sobat juga memiliki ibu seperti ibuku, atau bahkan lebih sayang dan baik hati.
Segera kubuka pintu tanpa ada koma dan titik di setiap langkahku, kubuka grendel atas dan bawah dari pintu tersebut, kurasakan hembusan udara di pagi ini, benar-benar lebih dingin dari hari-hari sebelumnya. Aku merasa kedinginan, kulirik ibuku, beliau seperti menarik nafas panjang tanda kelegaan yang beliau rasakan. Kusembunyikan rasa dingin yang menyelimuti tubuh. Segera kuambil sapu dan cikrak untuk membersihkan halaman depan, hanya senjata ini yang kubawa untuk menghadapi dinginnya cuaca pagi ini.
Kulihat banyak daun pohon mangga berjatuhan, hampir memenuhi luas halaman. Tanpa basa basi kulibas mereka dengan sapu di tangan kanan dan kujaring dengan cikrak di tangan kiri. Kuhabisi mereka hanya dalam waktu sekitar 7 menit. Segera aku kembali ke dapur
“Sudah selesai?” Tanya ibuku
“Alhamdulillah Bu, sudah”.
Kulihat beliau tersenyum, betapa gembiranya hatiku. Senyuman beliau seperti penghangat tubuhku yang beku karena cuaca di pagi ini. Aku benar-benar senang, aku bisa membuat ibuku tersenyum. Senyumannya tidak terganti. Terlihat begitu ikhlas dikeluarkan, tanpa ada rasa ragu yang mengganjal di hati. Kuletakkan sapu dan cikrak yang masih kupegang. Dari tempat ibu memasak, aku berbelok ke kiri. Kulewati kamar tidur orang tuaku. Kulihat disana adikku masih tertidur lelap. Wajahnya begitu tenang. Namun, segera kutinggalkan kamar itu. Aku tidak tahan dengan bau ompol dari adikku.
Entah kenapa, penyakit adikku yang satu ini sulit disembuhkan. Meski sudah kelas satu SD, dia masih saja mengompol. Tak jarang ibu membekalinya dengan celana ganti ketika sekolah. Sebagai jaga-jaga jika disekolah dia mengompol. Sering juga dia bercerita tentang rasa malunya ketika celananya harus diganti oleh bapak atau ibu guru.
Aku masih bisa merasakan dinginnya cuaca di pagi ini. Meski kucoba menyendekapkan kedua tanganku, aku masih merasa seperti di luar rumah.
“Ada apa Nak?”
Suara itu sangat khas, tidak ada duanya. Mungkin, hanya ada satu di dunia ini. Kucoba menoleh ke sumber suara. Ayah, dialah pemilik suara itu. Kulihat di depan beliau sebuah televisi yang sudah berumur menayangkan acara pengajian Mamah dan Aa’ di Indosiar. Ayahku memang penggemar acara pengajian. Sering sekali beliau mengikuti acara pengajian yang diadakan di masjid desa. Berangkat ketika aku sudah terlelap tidur, dan begitu aku bangun, ayah sudah berada di depan televisi, juga mendengarkan pengajian.
Ayahku sangat berharap agar aku ketika dewasa menjadi seorang pemimpin yang baik, meski itu hanya sebuah pemimpin keluarga. Tiap kali ada suatu acara yang disitu terdapat perwakilan tiap kelas untuk sekedar berbicara di depan umum, jiwaku tergugah. Aku ingin sekali mewakili kelasku, tapi entah kenapa, aku merasa belum siap. Ayahku pernah mehjadi kepala desa, tentu wajar jika beliau memintaku untuk sekedar meneruskan warisan sifat pemimpin yang beliau miliki.
“Sudah bantu-bantu ibu?”,
“Sudah Yah”. Jawabku mantap
“Halaman depan sudah disapu?”
“Juga sudah”. Dengan dada membusung kujawab pertanyaan dari ayah
“Mobilnya sudah dicuci?”
Huft, aku lupa. Segera kuberdirikan tubuhku. Kulihat jam, 05.32. Kucepatkan langahku menuju garasi, kubuka pintunya. Disana terdapat Innova putih yang masih tertidur lelap. Aku bersyukur, keluargaku sudah memiliki mobil. Setiap minggu pagi, aku berlatih mengendarainya keliling komplek perumahan, tentu dengan bimbingan dari ayah. Sudah sekitar satu bulan aku berlatih, sekarang aku sudah begitu bisa mengendarai mobil putih ini.
Segera kusegarkan mobil ini. Aku ingin semua tugas wajib di hari libur ini cepat selesai, sehingga aku bisa bersantai, menikmati hari ini dengan tanpa beban, melepas stress dari keributan aktivitas sekolah selama seminggu ini. Akhir-akhir ini aku seperti sebuah robot. Begitu ada tugas dari bapak atau ibu guru, aku harus segera menyelesaikannya, jika tidak, semua tugasku akan menumpuk di akhir pekan. Karena date line tugas itu minggu depan. Oleh karena itu, jika aku tidak segera mengerjakannya, aku harus totalan di hari minggu. Hari minggu yang seharusnya aku manfaatkan untuk beristirahat setelah enam hari bersekolah, malah harus aku gunakan untuk mengerjakan tugas yang telah menumpuk, MALAS!!!
@@@@@
Matahari sudah mulai meninggi, burung telah bersahut-sahutan dengan sesamanya. Tak mau kalah, para jago juga mengeraskan suara mereka.Tetangga di sekitar rumah sudah mulai melakukan aktivitas pagi mereka, ada yang membersihkan selokan, ada yang berangkat jogging, ada yang sudah selesai jogging, ada yang bersepeda bersama keluarga, bahkan ada yang baru membuka pintu rumah tanda mereka baru saja bangun dari tidur nyenyak mereka. cuaca yang tadi membuatku membeku sekarang telah berevolusi menjadi kehangatan pagi.
Kucepatkan gerakan tanganku dalam memandikan mobil manja ini. Kulihat mobil ini telah bermetamoforsis menjadi mobil dengan sabun yang menutupi semua bagian tubuhnya. Seandainya mobil ini dibawa ke negara yang sedang menjalani musim salju, mungkin hanya sebagian kecil warga negara yang menyadari bahwa itu adalah sebuah mobil. Huft, kuhela nafas sebentar. Tidak terasa aku telah bermandikan keringat, tapi aku tidak merasa lelah sedikitpun. Kupercepat lagi kombinasi tangan dan kaki untuk bergerak. Aku benar-benar ingin semua tugas ini selesai. Kuambil selang yang tergeletak di bawah mobil, kusemprotkan ke mobil salju ini. Sedikit demi sedikit, semua sabun yang menutupi mobil ini hilang, sekarang dia telah menjelma menjadi sebuah mobil yang baru saja aku beli sekitar tiga menit yang lalu. Tidak ada debu di kacanya, semua lumpur hilang dari bannya. Sempurna, benar-benar sempurna.
Aku segera membereskan semua alat yang telah kugunakan untuk mencuci mobil. Bersih tiada tara. Sekarang tugasku hanya memanaskan mesin mobil, agar mesin tidak cepat rusak. Segera kuambil kunci mobil yang berada di laci lemari TV.
Bruuummm.....
Suara itu membuatku lega, semua tugasku di pagi ini telah selesai. Masih kupandangi mobil ini, seperti ingin berucap...
“Terima kasih mas bro...”
Segera kubalikkan badan, ingin aku segera mandi, tak tahan aku dengan bau badanku sendiri. Dari dalam rumah, tiba-tiba sesosok laki-laki gendut keluar, ya, tak lain beliau adalah ayahku. Kulihat ekspresi ayah. Beliau mengamati mobil yang ada di depan beliau. Seakan tidak percaya, beliau terlihat mengernyutkan kening. Tanpa kuduga beliau menoleh padaku, dua jempol beliau hadiahkan untukku. Dadaku semakin busung. Entah kenapa, aku merasa senang pagi ini. Aku tidak bisa berhenti tersenyum, bahkan saat aku akan mengambil handuk untuk mandi, ibu dan adikku termangu penuh tanya,
“ Ada apa dengan anakku??”. Mungkin itu yang ingin ibu katakan padaku
“ Kakak sakit apa ya?”. Itu pasti kata-kata yang ada di pikiran adikku.
Tapi tidak aku perdulikan itu. Segera aku membersihkan badanku dari debu dan kotoran yang kudapat setelah lelah mengerjakan tugas hari ini.
Puas, senang, bangga, segar. Semuanya bercampur dalam diriku. Puas setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, senang karena bisa membuat orang tua tersenyum, bangga terhadap diri sendiri yang bahkan aku tidak yakin bisa melakukan semua tugas ini. Dan merasa segar karena aku baru saja selesai mandi. Ingin aku kembali ke tempat paling nyaman di republik ini, tapi ada sesuatu dalam diri yang melarangku untuk merebahkan diri di kasur.
Di hari minggu seperti ini hanya tontonan sekelas adikku yang memenuhi semua stasiun televisi di Indonesia, dan semua acara itu tidak bisa menghibur hatiku sesenang ketika ibu tersenyum dan ayah mengacungkan jempolnya padaku.
“Andi, bisa bantu ibu sebentar?”. Tiba-tiba suara ibu mengagetkanku.
“Ada apa Bu?”. Jawabku spontan
“Tolong ibu belikan bahan-bahan ini”. Kata ibu seraya memberikan secarik kertas.
Kubaca secarik kertas itu, disana tertulis:
- Susu SGM 600 2 bngks
- 5 sabun mandi
- Odol pepsodent
- Shampo
- Minyak goreng 4 liter
- Gula pasir 5 kg
- Mainan adik(mobil2an)
- Camilan
- Permen
- Buku tulis 10 buah
- Pensil + pulpen 3 buah
- Kertas HVS 1 rim

Apa ini??? Daftar belanja??? Huft, kulirik wajah ibuku. Beliau terlihat menaruh harap padaku. Baiklah, demi seorang ibu yang telah membesarkanku, kubulatkan tekad, kuyakinkan dalam hati, untuk tidak ragu dalam berucap,
“Ya Bu,...”.
Aku sudah berucap, dan aku harus melakukannya. Laki-laki sejati tidak akan pernah menarik kata-katanya. Itu yang aku patenkan dalam diriku, dan sekarang aku harus melaksanakannya. Segera aku berganti pakaian yang lebih pantas. Tak lupa sedikit parfum kusemprotkan ke bajuku.
“ Mau kemana?”. Tanya ayahku. Mungkin terpancing karena aku yang berpakaian berbeda dari biasanya.
“Mau ke supermarket, disuruh ibu belanja”. Kataku seraya menunjukkan daftar belanja yang tadi diberikan ibu. Beliau melihatnya sebentar, lalu menyerahkannya padaku.
“Aku ingin tahu, apa kau sudah bisa menyetir mobil atau tidak. Sekarang coba kau belanja dengan mobil di depan itu.”
“Tanpa dampingan dari Ayah?”. Tanyaku lebih jelas
“ Jika kau yakin bisa, pasti kau bisa!”.
Terngiang kata-kata penuh makna itu di telingaku. Aku senang, aku diizinkan untuk mengendarai mobil di jalanan yang ramai dan beraspal, tidak berkeliling komplek perumahan yang berpaving. Tapi sebenarnya aku juga takut, karena aku mengendarai mobil tanpa pengawasan dari ayah. Kuambil kunci mobil yang berada di samping TV.
“Assalamualaikum”. Kuucap salam kepada ayah dan ibu yang sedang asyik menonton TV
“Waalaikumsalam”. Jawab beliau berdua hampir bersamaan
Segera aku kemudikan mobil putih ini. Kujalankan dia begitu pelan keluar dari halaman rumah, karena aku takut menggores pagar rumah. Kubelokkan dia ke kanan, melewati rumah para tetanggaku. Semakin lama, aku semakin tegang, entah kenapa aku merasakan hal yang berbeda, tidak sama seperti aku latihan. Sekarang aku merasa lebih tegang
“Ayo Andi, kuatkan dirimu, kau sudah berlatih hampir satu bulan, tenang saja...”
Hanya itu yang bisa kukatakan kepada diriku sendiri. Aku sudah hampir melewati pintu keluar komplek, disana terdapat tulisan ” Semoga Selamat Sampai Tujuan”.
Ya, semoga aku selamat hingga aku kembali. Sekarang aku berhadapan dengan jalanan yang ramai, dipenuhi kendaraan roda dua, roda empat, dan roda tiga, becak maksudnya. Kujalankan dia begitu hati-hati. Aku benar-benar tegang. Untung rumahku tak begitu jauh dari supermarket. Aku tinggal belok kanan, lurus sekitar 5 km, rambu lalu lintas, belok kiri. Nah, disitulah letaknya.
Dan kini, aku menunggu lampu merah yang akan berganti warna menjadi hijau sekitar sepuluh detik lagi. Aku masih tetap tegang. Tapi kucoba untuk mengatkan diriku. Tinggal belok kiri dan aku akan sampai di supermarket itu.
Ya, lampu sudah berubah menjadi hijau, segera kuputar setir mobil ke kiri. Kujalankan mobilku pelan-pelan. Akhirnya aku sampai di pintu gerbang supermarket, di gedung itu tertulis besar sekali “Giant”. Aku segera menuju ke ruang parkir. Ketika aku baru masuk, salah seorang satpam memberitahuku
“Nanti parkirnya di parkiran lantai dua Dik, soalnya yang lantai satu sudah penuh”.
“Ya Pak, terima kasih”.
Parkiran lantai dua, kucari tulisan yang menunjukkan tempat itu. Begitu aku masuk tempat parkir. Sudah ada tanda panah yang menunjukkan tempat parkir lantai dua. Kujalankan mobil ini pelan-pelan, karena sudah ada banyak mobil yang parkir disini. Kumundurkan mobil ini pelan-pelan, takut bergeser dengan yang lain. Aku mendapat tempat parkir yang berbatasan langsung dengan pagar pembatas. Alhamdulillah, aku sampai. Kuhela nafasku berkali-kali. Kucabut kunci mobil ini. Kumasukkan ke dalam saku. Kucoba melihat diriku sendiri dari cermin yang ada di dalam mobil, penuh keringat. Tak apalah, ini hari pertamaku mengendarai mobil tanpa pengawasan ayah. Ketika aku akan melepas sabuk pengaman, aku merasakan ada yang aneh. Aku merasa mobil ini berjalan sendiri. Ia berjalan mundur. Aku gugup. Aku takut. Jika aku tidak menghentikan mobil ini aku akan hancur bersama mobil ini. Dengan perasaan waswas aku mencari kunci yang kumasukkan ke saku. Kucari di saku kanan, tidak ada, dia disaku kiri, aku mendapatkannya! Tapi aku semakin cemas, semakin lama mobil ini semakin mundur. Aku menangis.
“Ya Allah, apa yang harus aku lakukan”.
Aku benar-benar tidak tahu. Tanganku bergetar, aku mencoba menoleh kebelakang. Aku sudah bisa melihat halte bus dibawah sana. Takut, cemas, sedih, semua bercampur jadi satu. Yang bisa aku lakukan adalah menyalakan mesin mobil ini dengan kunci yang sudah ada di genggaman tanganku, tapi entah kenapa, tanganku kaku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Semakin lama mobil semakin mundur.
Braaaakkk!!!
Mobilku telah menghancurkan pembatas. Aku pejamkan mataku. Aku tidak bisa melihat, aku tidak bisa mengendalikan emosiku. Aku benar-benar gugp. Maaf, kusampaikan itu kepada ayah dan ibuku yang berada di rumah, meski kutahu beliau berdua tidak akan mendengar meskipun aku menjerit sekeras-kerasnya. Air mataku semakin deras.
Ya Allah, maafkan dosa hambamu ini......
@@@@@@@
Kubuka mata. Ku berada di ruang yang serba putih. Mungkinkah ini akhirat? Aku sudah mati? Aku masih bingung. Disampingku ada tabung oksigen, tanganku diperban, dan selang infus juga tertancap di tanganku. Kulihat di luar sana ibu menangis. Tertunduk lesu. Terlihat juga ayah menghibur ibu, meski air matanya juga ikut mengalir. Ibu menegakkan kepalanya, kurasa beliau menghadap ke arahku, kucoba kuangkat tangan kiri tempat selang infus menancap, isyarat bahwa aku telah sadar dari tidurku yang tidak kutahu berapa lama tidurku.
Beliau belari menuju ke arahku, membuka pintu kamar, dan memelukku penuh rasa kasih sayang. Air matanya membasahi selimutku, aku tidak peduli. Aku ikut menangis. Kenapa engkau masih begitu peduli padaku, aku sering membuatmu jengkel, marah, dan tak jarang aku membentakmu. Apa hanya karena aku adalah anakmu? Aku tidak tahu kapan aku bisa membalas budi muliamu. Kucoba untuk merangkul tubuhmu yang kurus ini, tapi tanganku tidak bisa digerakkan, kaku. Kulihat dibelakang ibuku, semua sanak saudara mengikuti. Mereka semua peduli padaku. Mereka semua tersenyum, mengucap syukur, tapi tetap tidak bisa menutupi air mata yang jatuh membasahi pipi mereka

Jumat, 11 November 2011

Pramuka, adalah kegiatan yang membosankan, extra yang diadakan di sekolah hanya untuk pantes-pantesan , hanya diajari menyanyi, sandi-sandi, dan hal aneh lain. Tri Satya dan Dasa Dharma, tanpa praktek secara riil di kehidupan nyata, semakin meyakinkanku bahwa percuma aku ikut pramuka. Apalagi pembina yang hanya peduli kepada anggota pramuka perempuan, membuatku semakin benci dengan pramuka…
SETIDAKNYA, ITULAH PEMIKIRANKU TENTANG PRAMUKA SELAMA AKU DUDUK DI BANGKU SEKOLAH DASAR!!!
Itu juga yang mendasari aku untuk lebih baik tidak ikut pramuka di masa SMP, karena aku yakin, yang kudapat tidak jauh beda dengan yang kudapat selama SD,….
RASA BOSAN!!!
Tapi,…….


Di masa SMA, aku tahu, semua pandangan burukku itu salah.....

Ini bermula saat aku baru masuk di SMA Negeri Model Terpadu Bojonegoro. Semua siswa wajib memilih 2 extrakulikuler, yaitu pramuka atau PMR. Lalu kupilih pramuka, dengan alasan aku sudah pernah merasakan pendidikan pramuka, yang pasti juga membosankan, anggota cukup hadir dan sudah mendapat jaminan nilai “B” di rapor. Tidak seru…
Sekali lagi, aku menyadari bahwa semua pandangan burukku salah. Pertemuan pertama, aku mendapat pengertian pramuka, ya jelaslah, Praja Muda Karana, semua anggota menjawab serempak. Namun, Kak Purwanto, Pembina kami melanjutkan pertanyaan beliau,
“Apa itu Praja, Muda, dan Karana?”
Semua diam, bisu. Suasana kelas hening.
“Kenapa diam? Kalian sudah mengikuti pramuka sejak sd kan?” lanjut beliau
Aku tersentak. Mengapa waktu SD aku sudah puas ketika diberi tahu bahwa kepanjangan pramuka adalah Praja Muda Karana?
“Praja adalah warga negara Indonesia, muda adalah penduduk yang berusia 7-25 tahun, karana adalah mereka yang mampu berkarya, jadi, arti dari pramuka adalah?” terang beliau sekaligus memberi pertanyaan kepada kami
Samar-samar, semua anggota pramuka menjawab,” warga Negara Indonesia yang berusia 7-25 tahun yang mampu berkaya, itulah pramuka…”
Sejak pertemuan pertama itulah, sedikit demi sedikit pandangan burukku tentang pramuka sirna. Disini, kutemukan hal yang benar-benar berbeda dengan apa yang kualami di SD, tidak kutemukan rasa bosan, jenuh, atau merasa iri kepada anggota pramuka perempuan yang terus dimanja oleh pembina. Semua itu tidak terjadi disini, yang ada adalah rasa senang, kedisiplinan, dan rasa penuh tanggung jawab.
Memang, kami diajari bermacam-macam lagu tentang pramuka oleh Kak Purwanto, tapi, lagu yang beliau ajarkan lebih bermakna bagi kami, karena beliau tidak hanya memberikan lagu yang menghibur, tapi juga memberi pesan, amanat dan semangat kepada kami, contohnya adalah seperti di bawah ini,
1. Berkemah

Di tengah-tengah hutan
Di bawah langit biru
Tenda terpasasng ditiup Sang Bayu
Api menjilat-jilat, terangi rimba raya
Membawa kelana dalam impian
Dengarlah, dengarlah, sayup-sayup
Suara nan merdu memecah malam
Jauhlah dari kampung, turuti kata hati
Guna bhakti pada Bunda Pertiwi (2x)

2. Berjuang

Tinggalkan ayah tinggalkan ibu (ayah ibu)
Izinkan kami pergi berjuang (berjuang)
Di bawah kibawan merah putih (merah putih)
Majulah… ayo maju (serbu!!)
Tidak… kembali pulang (pasti pulang)
Sebelum kita yang menang (pasti menang)
Walau hayat terdampar di medan perang, hati kita akan tetap senang
maju ayo maju ayo terus maju
singkirkan dia…dia…dia…
kikis habis sisa mereka, demi Negara Indonesia
wahai pramuka dimana saja berada
teruskan perjuangan para pahlawan
demi bangsa dan Negara

Itulah kebahagiaan yang aku rasakan selama aku mengikuti kegiatan pramuka, sedangkan untuk kedisiplinan, kami selalu melakukan kegiatan apel tiap akan memulai kegiatan pramuka, dan yang
Menjadi petugas apel tidaklah harus Kak Purwanto sebagai Pembina, namun kami juga dituntut untuk mencoba menjadi petugas dalam apel, entah itu pembaca Dasa Dharma, ataukah pemimpin apel, hingga pembina apel, semua bergilir dari satu anggota ke anggota lain. Semua sudah terjadwal secara tepat di otak kami, apa yang harus kami lakukan setelah kegiatan ini, setelah kegiatan itu, dan lain sebagainya, yang aku tanyakan, mengapa itu terpatri begitu kuat di kepalaku? Ah, aku tidak tahu…
Setelah apel berlangsung, selama kurang lebih 5-10 menit, kami sepakat untuk mengadakan latihan baris-berbaris. Disinilah rasa tanggung jawab kami dipertaruhkan. Bunyi Dasa Dharma ke 9 adalah “bertanggung jawab dan dapat dipercaya”, dan seperti itulah yang harus kami lakukakn di latihan baris-berbaris ini. Lek Pur (begitulah nama panggilan yang disukai oleh Kak Purwanto) memberi hukuman kepada kami jika kami melakukan kesalahan dalam baris ini. Peraturannya seperti ini, jika kita salah dalam mencerna intruksi yang diberikan oleh pemimpin barisan, bagi kakak putra, kita diwajibkan untuk push up sekali tiap sekali salah. Awalnya, kami merasa tertekan dengan semua itu, kami dilatih dengan pengajaran semi militer. Namun, entah kenapa, semakin lama, semakin sering kami melakukan kesalahan, semakin kami menikmati push up ini. Bahkan ada yang sengaja melakukan kesalahan hanya agar bisa melakukan push up. Karena semakin tertantang, akhirnya kami, kakak putra setuju untuk menaikkan hukuman menjadi 5 kali push up untuk setiap kesalahan. Hingga akhirnya, tak jarang kami malah mengadu banyaknya push up kami dengan kakak pramuka lain.
Sekali lagi, aku benar-benar tidak tahu mengapa, tapi aku benar-benar menikmati setiap kegiatan dalam pramuka semasa SMA ini, bahkan hukuman sekalipun. Terima kasih kakak-kakak semua, terima kasih Lek Pur, karena kalian semualah aku bisa mengetahui apa makna sebenarnya dari pramuka, untuk lebih jelasnya, akan aku ceritakan di “Pramuka Part#2”, ….


Ini ceritaku tettang pramuka di sekolahku, bagaimana dengan kalian, kakak pramuka yang berada di sana?? ^_^