Halaman

Minggu, 20 Februari 2011

CERPEN PERTAMAKU



            Suasana kelas masih seperti biasa. Ada yang bernyanyi, mengerjakan tugas, ataupun bercerita tentang pengalaman. Kulihat mereka ceplas-ceplos dalam berkata, entah mereka terlihat seperti bernyanyi, atau melihat atap sambil berfikir, serta mereka yang sedang curhat. Mulut mereka buka-tutup seperti berkata, tapi aku tidak mengerti, semua bercampur aduk amsuk ke dalam telingaku. Mereka semua seperti tak malu dipelototi oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak Wakil Presiden Boediono yang dari tadi pagi pelajaran dimulai hingga sekarang, masih tetap tenang mengamati kami. Jas dan dasi mereka sama, jas hitam dan dasi merah dengan latar belakang Sang Merah Putih. Yang muncul dalam otakku, kenapa beliau tetap tahan mengamati kami, padahal mereka dalam keadaan mmenggantung di tembok?
            Vas bunga yang berada di atas meja guru terlihat begitu mencolok di kelas kami, dengan bunga mawar plastik merah didalamnya. Kelas kami serba putih, tembok puth, lantai berkeramik putih, dan juga pakaian SMA yang kami gunakan saat ini, atasan putih, bawahan putih. Padahal kami sudah berusaha untuk menghiasi kelas kami dengan menempel cita-cita kami di papan khusus dibelakang kelas, begitu juga dengan kata mutiara yang kami ambil dari ucapan Henry Ford,” Apabila sesuatu terlihat melawan kamu, ingatlah, bahwa pesawat bisa terbang karena melawan angin, bukan dengan angin”. Kualihkan pandanganku ke timur kelas. Disana hidup seseorang yang sedang tenang belajar, dengan buku disembunyikan di bawah bangku, sehingga, dia tinggal menatap ke bawah untuk membacanya. Aku sudah menduga. Buku itu pasti buku biologi, entah kelas berapapun itu, dai baca. Tio namanya. Pernah suatu ketika aku bertanya padanya,
Bro, apabila kau akan diikutkan lomba, sedangkan waktunya tinggal seminggu lagi, apa uang kau lakukan?”
“ Ya, belajar dengan tekhnik genjot
            Aku malu. Pada saat itu aku benar-benar malu dan iri. Dari aksennya, dia terlihat sudah sering belajar dengan ekstrim seperti itu, tiap ada waktu luang, belajar, dan menambah waktu belajar di malam harinya. Tapi aku, belum menguasai semua materi. Alhamdulillah sobat, seminggu lagi aku akan diikiutkan lomba matematika tingkat kabupaten mewakili sekolah. Mungkin kalian akan merasa bangga, tapi tidak untukku. Aku takut, gelisah, cemas. Bagaimana jika aku gagal dalam lomba tersebut? Sekolahku akan diacuhkan oleh masyarakat. Hingga hari ini, hanya sebagian materi yang aku pelajari, itupun masih kucampur dengan bermain dan bercanda bersama teman-teman.
            Kuperhatikan lagi Tio, dia masih tenang dan khusyu’ dalam membaca kitab Campbellnya, kupelototi dia, dia semakin tenang, semakin khusyu’. Aku ngeri melihatnya, api tersulut membakar tubuhku, motivasi dalam diriku membuncah, kuambil soal yang telah lama diberikan oleh pembina, dalam diriku, aku katakan,
“ Hanu, jangan mau kalah, kau harus bisa! Tio makan nasi, kau juga, sekarang kenapa kau harus menyerah? Kau seorang laki-laki!!!”
Kubuka lembaran soal itu, kulihat nomor dua puluh, membahas tentang trigonometri, kucoba memecahkannya, kucoba dengan rumus sinus dan kosinus, nol, masih nol. Otakku masih belum kuat, hingga tanganku berkeringat, aku belum bisa memecahkannya.
“ Aku masih belum siap, aku harus belajar lebih dari ini...”
            Entah kenapa, aku merasa sangat pusing. Diantara suara teman-teman yang masih berceloteh dari tadi, suara pintu dibuka ikut bercampur di telingaku. Kutoleh ke sumber suara. Bu Ika, guru Bahasa Indonesia kami, memasuki kelas. Teman-teman belum sadar, untung tempatku tepat berada di depan meja guru, aku langsung menyadarinya. Lama-kelamaan, teman-teman menyadarinya dan kembali ke sarangnya masing-masing. Achmad, temanku yang berbobot 98 kg, langsung menuju ke bangku di sebelahku, karena itulah tempatnya. Aku menahan tawa, tingkah polahnya yang lucu serta perawakan yang sudah pasti gemuk membuatku menjulukinya ‘Tanker’.
            Sedangkan teman-teman lain lebih suka memanggilnya dengan sebutan ‘Smex’. Namun dia tetap diam dan malah lebih suka dipanggil seperti itu daripada nama aslinya, Achmad. Dengan pandangan yang sedikit pucat, Bu Ika memandangi kami,
“Hari...ini kita akan membuat cerpen”
Kata beliau membuka pelajaran. Kami agak kaget, suaranya sangat aneh dari biasanya. Bu Ika berperawakan agak gemuk, dengan jilbab yang seragam dengan pakaian PNS-nya.
“Maaf, hari ini..... suara saya agak seksi, karena saya sedang tidak enak badan”.
Sontak aku hanya menahan tawa, sedangkan teman yang lain ada yang tertawa, atau hanya menahan tersenyum. Masih sempat saja beliau bercanda dengan majas eupemismenya. Beliau hanya tersenyum melihat tingkah laku kami. Dengan sigap beliau menulis di papan
     TIPS
-          Jangan pikirkan “ mulai dari mana?”
-          Jangan pikirkan ” judulnya apa?”
-          Jangan pikirkan “ jika dibaca orang bagaimana?”

CERPEN YANG BAIK
-          Berkesan/ deep impression
-          Alur menarik
-          “Beda”
Segera teman-teman menulis di kertas buram yang telah dibagikan oleh ketua kelas kami, Ardi, yang dia ambil dari kantor. Kulihat beberapa teman-teman perempuan di kelas. Tangan mereka seperti air mengalir di kolam, mereka menulis tiada henti. Tanganku masih kaku, aku seperti patung, hanya bisa diam sambil memeras otak, sambil memandangi “TIPS” dan “CERPEN YANG BAIK” di papan tulis. Kutengok ke atas, kulihat Pak SBY dan Boediono menari-nari sambil berkata,
“ Apa yang kau lakukan? Kau tidak punya insting untuk menjadi cerpenis, wkwkwkw.....”
Kubuang wajahku dari 2 orang petinggi negara ini. Kucoba pejamkan mata, berfikir, berfikir, dan berfikir,
“Apa yang akan kutulis?”
Aku tersadar, segera kuambil bolpoin dan kugoreskan diatas kertas buram yang dari tadi kugenggam, baiklah Sobat, inilah cerpenku.

                  Oleh: Fathan Nur Hakim (X-2/14)


  
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar