Halaman

Jumat, 11 November 2011

Pramuka, adalah kegiatan yang membosankan, extra yang diadakan di sekolah hanya untuk pantes-pantesan , hanya diajari menyanyi, sandi-sandi, dan hal aneh lain. Tri Satya dan Dasa Dharma, tanpa praktek secara riil di kehidupan nyata, semakin meyakinkanku bahwa percuma aku ikut pramuka. Apalagi pembina yang hanya peduli kepada anggota pramuka perempuan, membuatku semakin benci dengan pramuka…
SETIDAKNYA, ITULAH PEMIKIRANKU TENTANG PRAMUKA SELAMA AKU DUDUK DI BANGKU SEKOLAH DASAR!!!
Itu juga yang mendasari aku untuk lebih baik tidak ikut pramuka di masa SMP, karena aku yakin, yang kudapat tidak jauh beda dengan yang kudapat selama SD,….
RASA BOSAN!!!
Tapi,…….


Di masa SMA, aku tahu, semua pandangan burukku itu salah.....

Ini bermula saat aku baru masuk di SMA Negeri Model Terpadu Bojonegoro. Semua siswa wajib memilih 2 extrakulikuler, yaitu pramuka atau PMR. Lalu kupilih pramuka, dengan alasan aku sudah pernah merasakan pendidikan pramuka, yang pasti juga membosankan, anggota cukup hadir dan sudah mendapat jaminan nilai “B” di rapor. Tidak seru…
Sekali lagi, aku menyadari bahwa semua pandangan burukku salah. Pertemuan pertama, aku mendapat pengertian pramuka, ya jelaslah, Praja Muda Karana, semua anggota menjawab serempak. Namun, Kak Purwanto, Pembina kami melanjutkan pertanyaan beliau,
“Apa itu Praja, Muda, dan Karana?”
Semua diam, bisu. Suasana kelas hening.
“Kenapa diam? Kalian sudah mengikuti pramuka sejak sd kan?” lanjut beliau
Aku tersentak. Mengapa waktu SD aku sudah puas ketika diberi tahu bahwa kepanjangan pramuka adalah Praja Muda Karana?
“Praja adalah warga negara Indonesia, muda adalah penduduk yang berusia 7-25 tahun, karana adalah mereka yang mampu berkarya, jadi, arti dari pramuka adalah?” terang beliau sekaligus memberi pertanyaan kepada kami
Samar-samar, semua anggota pramuka menjawab,” warga Negara Indonesia yang berusia 7-25 tahun yang mampu berkaya, itulah pramuka…”
Sejak pertemuan pertama itulah, sedikit demi sedikit pandangan burukku tentang pramuka sirna. Disini, kutemukan hal yang benar-benar berbeda dengan apa yang kualami di SD, tidak kutemukan rasa bosan, jenuh, atau merasa iri kepada anggota pramuka perempuan yang terus dimanja oleh pembina. Semua itu tidak terjadi disini, yang ada adalah rasa senang, kedisiplinan, dan rasa penuh tanggung jawab.
Memang, kami diajari bermacam-macam lagu tentang pramuka oleh Kak Purwanto, tapi, lagu yang beliau ajarkan lebih bermakna bagi kami, karena beliau tidak hanya memberikan lagu yang menghibur, tapi juga memberi pesan, amanat dan semangat kepada kami, contohnya adalah seperti di bawah ini,
1. Berkemah

Di tengah-tengah hutan
Di bawah langit biru
Tenda terpasasng ditiup Sang Bayu
Api menjilat-jilat, terangi rimba raya
Membawa kelana dalam impian
Dengarlah, dengarlah, sayup-sayup
Suara nan merdu memecah malam
Jauhlah dari kampung, turuti kata hati
Guna bhakti pada Bunda Pertiwi (2x)

2. Berjuang

Tinggalkan ayah tinggalkan ibu (ayah ibu)
Izinkan kami pergi berjuang (berjuang)
Di bawah kibawan merah putih (merah putih)
Majulah… ayo maju (serbu!!)
Tidak… kembali pulang (pasti pulang)
Sebelum kita yang menang (pasti menang)
Walau hayat terdampar di medan perang, hati kita akan tetap senang
maju ayo maju ayo terus maju
singkirkan dia…dia…dia…
kikis habis sisa mereka, demi Negara Indonesia
wahai pramuka dimana saja berada
teruskan perjuangan para pahlawan
demi bangsa dan Negara

Itulah kebahagiaan yang aku rasakan selama aku mengikuti kegiatan pramuka, sedangkan untuk kedisiplinan, kami selalu melakukan kegiatan apel tiap akan memulai kegiatan pramuka, dan yang
Menjadi petugas apel tidaklah harus Kak Purwanto sebagai Pembina, namun kami juga dituntut untuk mencoba menjadi petugas dalam apel, entah itu pembaca Dasa Dharma, ataukah pemimpin apel, hingga pembina apel, semua bergilir dari satu anggota ke anggota lain. Semua sudah terjadwal secara tepat di otak kami, apa yang harus kami lakukan setelah kegiatan ini, setelah kegiatan itu, dan lain sebagainya, yang aku tanyakan, mengapa itu terpatri begitu kuat di kepalaku? Ah, aku tidak tahu…
Setelah apel berlangsung, selama kurang lebih 5-10 menit, kami sepakat untuk mengadakan latihan baris-berbaris. Disinilah rasa tanggung jawab kami dipertaruhkan. Bunyi Dasa Dharma ke 9 adalah “bertanggung jawab dan dapat dipercaya”, dan seperti itulah yang harus kami lakukakn di latihan baris-berbaris ini. Lek Pur (begitulah nama panggilan yang disukai oleh Kak Purwanto) memberi hukuman kepada kami jika kami melakukan kesalahan dalam baris ini. Peraturannya seperti ini, jika kita salah dalam mencerna intruksi yang diberikan oleh pemimpin barisan, bagi kakak putra, kita diwajibkan untuk push up sekali tiap sekali salah. Awalnya, kami merasa tertekan dengan semua itu, kami dilatih dengan pengajaran semi militer. Namun, entah kenapa, semakin lama, semakin sering kami melakukan kesalahan, semakin kami menikmati push up ini. Bahkan ada yang sengaja melakukan kesalahan hanya agar bisa melakukan push up. Karena semakin tertantang, akhirnya kami, kakak putra setuju untuk menaikkan hukuman menjadi 5 kali push up untuk setiap kesalahan. Hingga akhirnya, tak jarang kami malah mengadu banyaknya push up kami dengan kakak pramuka lain.
Sekali lagi, aku benar-benar tidak tahu mengapa, tapi aku benar-benar menikmati setiap kegiatan dalam pramuka semasa SMA ini, bahkan hukuman sekalipun. Terima kasih kakak-kakak semua, terima kasih Lek Pur, karena kalian semualah aku bisa mengetahui apa makna sebenarnya dari pramuka, untuk lebih jelasnya, akan aku ceritakan di “Pramuka Part#2”, ….


Ini ceritaku tettang pramuka di sekolahku, bagaimana dengan kalian, kakak pramuka yang berada di sana?? ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar